Resep Es Lilin Murah Meriah dan Sehat. Capcusss cyiiin~

Alat dan bahan :
1. Plastik panjang.
2. Corong.
3. Wadah (panci atau baskom kecil).
4. Sendok untuk mengaduk.
5. Karet dapur.
6. Sirup atau teh.
7. Air matan.
8. Gula pasir.

Cara membuat :
1. Siapkan panci atau baskom kecil yang telah tersedia.
2. Masukkan sirup atau teh kedalam panci atau baskom tersebut.
3. Campurkan dengan gula pasir secukupnya.
4. Masukkan air  yang sudah matang kedalam adonan.
5. Aduklah adonan hingga menyatu.
6. Masukkan adonan sirup tersebut kedalam plastik panjang menggunakan corong (jangan sampai penuh!).
7. Ikat bagian atas plastik memakai karet dapur hingga sirup tidak tumpah.
8. Masukkan plastik yang sudah berisi sirup kedalam freezzer.
9. Tunggu hingga membeku,
10. Es lilin siap dinikmati.

Cerpen: Sebaskom Darah



Sebaskom Darah

Hari Sumpah Pemuda untukku dan Eghi bukan hanya hari dimana para pemuda dan pemudi mengucapkan janji untuk tanah air pertiwi. Tetapi, hari dimana dua mentari beranjak kepermukaan bumi untuk mengucapkan janji sehidup semati. Ya…. Benih-benih cinta mulai tumbuh diantara kami sejak hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa) di SMP N 179 Jakarta. Karna kebetulan aku dan Eghi satu kelas, kami jadi dapat berkenalan lebih lanjut.
            Awalnya kukira semua baik-baik saja, tidak ada yang aneh dengan kelas baruku. Maklum saja anak SD baru pindah ke SMP jadi ada perasaan gimanaaaaa gitu…. Ada rasa bangga, senang, deg-degan dan perasaan lainnya ketika aku tau aku diterima di SMP N 179 Jakarta ini. Namun, semua berubah ketika salah seorang temanku berteriak saat bel masuk kelas.
            “Cieeee……Eghi sekarang lagi naksir sama cewek di kelas ini ya? Yang orang Bali itu kan, Ghi?” teriaknya.
            “Hah?? Emang disini ada orang Bali ya? Siapa?” sahut Nathalia yang duduknya dua baris didepanku.
            “Iya apa? Hmmm iya kali ya. Aku gak tau tuh, Nath.” jawab Mega teman sebangku Nathalia.
            Aku hanya terdiam. Sejujurnya aku gak sadar kalau yang sedang dibicarakan mereka itu adalah aku. Sedangkan Eghi, dia hanya cengar-cengir macam kuda mau dipecut. Aku gak ngerti deh sama jalan pikir cowok yang satu ini. Eghi itu unik. Dia memiliki postur tubuh yang tinggi, wajah yang tampan, berwarna kulit putih serta memakai kacamata. Sedangkan aku, seorang cewek yang juga memakai kacamata, berpostur tubuh yang bisa dibilang tinggi untuk ukuran cewek berumur 12 tahun, dan ada yang unik juga nih dari aku. Rambut yang kumiliki itu keriting yang gak biasa, keriting sosis kata  teman-teman. Warna kulitku kuning langsat dan kebetulan aku keturunan Bali, Malang dan Bandung. Bisa dibayangin sendiri kan betapa eloknya parasku ini.
            Rahma Prima Fidelia Wandita dan Muhammad Taufik Yuki Inzaghi. Kami resmi memiliki hubungan yang lebih dari sekedar sahabat pada tanggal 28 Oktober 2010 pukul 17:47 di depan podium SMP N 179 Jakarta.
            Sore itu langit tidak begitu bersahabat. Sang Dewi angin menghembuskan selendangnya dengan begitu kencang, alhasil ia membuat bumi di sore hari itu amat sangat dingin. Ditambah lagi dengan langit yang sudah berubah warna menjadi lebih tua.
            “Kayaknya mau turun hujan deh. Waaah harus cepat-cepat sampai rumah nih.” ucapku dalam hati, ketika pak Wawan sudah memencet benda kesayanganku itu.
            “DELIAAAAAAA!!! Tunggu aku dulu dong. Main ngacir aja nih!” teriak Desty salah seorang dari teman sekelasku.
            “Ada apaan sih, Des? Aku mau pulang nih udah mau hujan.” aku menyahut sambil terus memandang langit di sore itu.
            “Yeeee!! Aku juga tau kali, kalau udah mendung gini pasti mau turun hujan masa iya mau turun salju. Tapi, tunggu sebentar ya. Ada yang mau ngomong penting sama kamu tuh.” Desty menjelaskan dengan panjang lebar.
            “Okay okay….emang siapa sih yang mau ngomong sama a….ku….” belum sempat aku mengakhiri kata-kataku muncul lah sesosok cowok yang sudah kukenali. Dia lah Eghi.
            Jantungku mulai berbedebar lebih kencang dari biasanya. Keringat mulai membasahi pelipisku. Firasatku sudah berkata ada hal penting yang ingin Eghi bicarakan denganku. Tapi apa ya? Otakku tidak dapat bekerja seperti biasanya dan tiba-tiba saja....
            “Del. Aku mau ngomong sama kamu. Penting. Ikut aku ke podium yuk, sebentar aja kok.” pinta cowok tampan ini kepadaku.
            Aku hanya bisa menuruti kata-katanya dan ikut berjalan dibelakangnya. Semua mata tertuju pada kami. Karna baru saja bel pulang jadi masih cukup ramai. Beberapa dari teman kami malah ikut bergabung dengan aku dan Eghi.
            “Haduuuuh ini ada apa ya? Emang aku salah apa sama Eghi? Kayaknya aku gak pernah cari masalah deh sama dia.” sudah banyak pertanyaan yang aku lontarkan pada diriku sendiri ketika sampai di depan podium.
            “Delia, sebenernya……aku…..” Eghi mulai berbicara.
            “Iya, Ghi? Kamu kenapa?” sahutku dengan cepat.
            “Aku…….” tanpa kusangku ternyata sudah ada semacam lingkaran manusia yang mengelilingiku dan Eghi.
            “Eghi? Kamu gak apa-apa kan?” tanyaku yang mulai curiga, takut kalau Eghi sampai sakit.
            “Hmm…..aku gapapa kok, Del. Aku cuma mau  bilang…..”
            “Bilang apa, Ghi?” aku menjawab secepat kilat. Mulai ada rasa penasaran yang menghujam jantungku.
            “Ayoook, Ghi!!! Buruan! Lama banget sih.” teriak salah seorang dari kerumunan itu.
            “Bilang kalau sebenernya aku it……u……….sa......yang sama kamu, Del. Kamu mau gak jadi pacar aku?” Eghi berbicara dengan cepatnya sambil memegang tanganku.
            Seketika lingkaran manusia yang tadi mengelilingi kami bersorak dan langit mendung itu berubah jadi cerah. Secerah wajah perempuan yang sedang Eghi ajak bicara ini. Aku tidak tau harus menjawab apa. Sejujurnya aku kurang paham sama begini-beginian. Waktu di SD aku gak pernah kenal yang namanya cinta apalagi pacar. Tapi entah kenapa ada sesuantu yang mendorongku untuk berkata “ya” saat ini.
            “Eghi……..aku…..iya aku mau.” jawabku tak kalah cepat dengan Eghi.
            “HAH? Serius, Del???? Makasih ya, Deliaaaa!!! MAKASIH, DEL! M-A-K-A-S-I-H!” Eghi berteriak dihadapanku dengan wajah yang berubah warna menjadi merah padam.
            “CIEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE SELAMAT YAAA!! EGHI SAMA DELIA SEKARANGGG PACARAN!!” dengan kompaknya mereka semua berteriak. Membuat langit di sore hari itu semakin indah untuk dikenang.
            “Eghi kamu jahat banget sih! Gak ada kerjaan lain apa selain gangguin aku? Liat nih patung babiku patah ekornya.” aku yang saat itu sedang  kesal jadi tambah emosi karna diganggu oleh Eghi.
            “Yaaah maaf deh maaf. Aku kan gak tau kalau patung kamu patah. Sini aku benerin…” Eghi merebut patungku dan hendak kembali ke tempat duduknya namun ia berbalik.
            “Aduuuuuuh!!! Sakit tau! Kamu nih apaan sih?!” omelku.
            “Princess Aurora gak boleh marah dong, nanti kalau marah pangeran cubit lagi nih pipinya.” Eghi yang habis mencubit pipiku langsung melarikan diri ke tampat duduknya.
            “Huffffttt…..” aku menghela napas panjang.
            You were my eyes when I couldn’t see. You saw the best there was in me. Lifted me up when I couldn’t reach. You gave me faith ‘coz you believed. I’m everything I am. Because you loved me.
            Suara Celine Dion yang khas dan syadu, membuat malam Rabu kali ini begitu indah untuk seorang cewek yang sedang mendengarkan lagu Because You Love Me oleh Celine Dion yang kebetulan sedang jatuh cinta.
            “Besok itu pelajarannya apa aja ya?” tanyaku dalam hati sambil terus mendengarkan dengan teliti setiap lirik yang dilantunkan oleh Celine.
            “Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama Islam sama Tata Busana….oiya Tata Busana bukannya aku sekelompok sama Eghi ya? Hihihi jadi makin bersemangat nih buat besok sekolah. Semuanya sudah beres tinggal cuci kaki, gosok gigi, berdoa abis itu bobok deeeh. Hoaaaammm………”
Kringgg…..kringggg….bel tanda masuk setelah istirahat pun sudah diperdengarkan oleh pak Wawan. Seluruh murid SMP N 179 Jakarta segera masuk ke kelas. Beberapa masih ada yang diluar kelas karna habis sholat ashar, sebagian ada yang sedang menghabiskan jajanannya didekat tong sampah dan beberapa ketua kelas sudah mulai memanggil guru untuk kembali mengajar di kelas.
“Ayok ayok ini donatnya dibeli yaa. Sekalian ngabisin nih.” itu kalimat pertama yang bu Suwarni lontarkan ketika memasuki kelas kesayanganku ini, 72.
“Beli bu beliiii!” teriak enam orang temanku sambil menyerbu kotak yang berisi donat itu.
“Bu saya beli dua buuuu!!” aku tidak mau kalah antusias agar kebagian donat yang super lezat ini. Namanya juga orang laper jadi apa saja dilahap ya, hehe.
“Yaudah ayok cepat dihabiskan donatnya. Habis itu kita mau praktek mencuci. Kalian sudah bawa alat dan bahan yang ibu suruh kan? Sekarang ayok duduk dengan kelompoknya masing-masing” teriak bu Suwarni sambil memegang kotak kosong yang tadinya berisi donat.
“Deliaaa! Disini!” Chandra dan Desty ternyata melihatku yang sedang kebingungan mencari mereka. Aku pun langsung menghampiri mereka. Ternyata Eghi sudah lebih dahulu sampai ketimbang aku.
Eghi dan aku duduk berhadap-hadapan, disebelah Eghi ada Chandra sedangkan disebelahku ada Desty. Kami memilih tempat duduk di bagian paling belakang, barisan kedua dari tembok. Kami pun langsung mengeluarkan alat dan bahan yang sudah kami bagi-bagi tugasnya dari minggu lalu. Aku membawa baskom dan Rinso, Eghi membawa jeruk nipis, Desty membawa kapur barus, dan Chandra membawa cutter. Bu Suwarni mulai membagikan serbet kepada setiap kelompok.
“Nah anak-anak sekarang ayok mulai kerjanya. Pertama kalian coret-coret serbet menggunakan pulpen, kedua potong jeruk nipis menjadi dua bagian setelah itu baru kita akan mulai mencuci di luar kelas.” jelas bu Suwarni sang guru Tata Busana sekaligus penjaga koperasi SMP N 179 ini.
“Eh santai aja kali nyoretnya, pada semangat amat.” celetuk Chandra.
“Yeeee biarin aja kali, Chan. Daripada kamu kayak gak semangat gitu.” sahut Desty yang tenyata paling semangat menyoret-nyoret serbetnya. Aku dan Eghi hanya saling pandang dan tertawa melihat kelakuan kedua teman kami ini. Eghi sudah selesai memotong jeruk nipis ia pun ikut menyoret-nyoret serbet dengan pulpennya.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Bu Suwarni menyuruh kami keluar kelas untuk mencuci serbet yang tadi sudah dicoret-coret dengan pulpen. Kelompokku memilih tempat mencuci persis di depan pintu kelas 72. Biar gak kejauhan kalau mau bolak balik masuk ke kelas alasannya.
Pertama jeruk nipis yang sudah dibagi dua dioleskan ke atas noda pada serbet. Lalu kapur barus yang sudah dihancurkan dioleskan juga ke atas noda tersebut. Terakhir Rinso ditaburkan ke atas noda dan mulai lah kami mencuci. Adonan ini menyebabkan tangan menjadi panas, perih dan gatal.
Eghi yang ternyata tangannya terluka saat memotong jeruk nipis di kelas tadi, tidak memberitahu kami soal itu. Saat Desty ingin mengambil air untuk mencuci, Eghi meminta agar dia saja yang mengambilnya. Akhirnya Eghi lah yang pergi untuk mengambil air.
Tidak ada kecurigaan sama sekali pada diriku. Kami semua sedang asyik mencuci dan bercanda karna kebetulan turun hujan yang menyebabkan lantai di koridor basah.
“Eghi kok lama banget sih ngambil airnya?” batinku mulai hawatir.
“Eh aku kesana dulu ya, mau liat Eghi. Kok dia lama banget ngambil airnya?” izinku kepada Desty dan Chandra.
“Oke deh, Del. Hati-hati yaaa….licin banget nih.” sahut Desty sambil melanjutkan mencucinya.
Aku menghentikan langkahku disamping Syifa, teman sekelasku. Kami mencuci tangan di depan kelas 89 sedangkan Eghi dan teman yang lain berada di depan kantor guru.
“Del, aku nyusul Rara dulu ya kesana.” Syifa pamit kepadaku untuk pergi menyusul teman sekelompoknya yang sedang mengambil air di depan kantor guru.
            Entah angin darimana, entah ikatan batin apa, entah seberapa besar rasa sayang dan khawatirku kepada pacar pertamaku itu. Aku mengikuti Syifa ke depan kantor guru dan betapa terkejutnya aku saat melihat baskom mamah yang tadinya berisi air berubah warna menjadi merah. Aku tambah terkejut saat melihat siapa yang sedang termenung sambil mencelupi tangannya ke dalam baskom itu. Aku mengikuti arah sumber darah dan…….
“EGHIIIIIIII!!!! Lho lho???? Kamu kenapa, Ghi?!” teriakku histeris saat melihat sang pangeran sedang duduk termenung dan mencelupkan jemarinya yang tak henti-henti mengeluarkan darah ke dalam baskom.
Aku melihatnya menangis…untuk pertama kalinya….untuk pertama kalinya aku melihat pangeran menangis…
“Jangan nangis, Eghiiii!!!” aku mencoba menenangkannya sambil mengusap air mata yang tak kalah deras dengan darah.
“EHHH TOLONGIN DONGGGG!!! JANGAN CUMA NGELIATIN!” aku berteriak kepada beberapa teman yang hanya menonton dan mengusap peluh dikening Eghi.
Otakku dipaksa untuk bekerja lebih keras daripada biasanya. Aku bukan anak dokter. Aku tidak tau cara menangani kasus seperti ini. Aku……aku cuma tau cara buat nyelamatin kamu, Ghi…
“DEL! Jangan! Gak boleh minum darah tau gak!” Fadhel mulai menyadari keputusan yang kubuat.
“BIARIN! Nanti juga aku buang kok darahnya!” mulutku penuh darah. Aku bisa merasakan betapa amisnya darah segar yang keluar dari jari jemari seorang manusia. Baju, dasi, rok semua penuh darah.
“Eghi….darahnya udah berhenti kok. Jangan nangis lagi yah….”
“Ma……ka……ka…s…sih ya, Del” isak Eghi dalam tangisnya.
Guru-guru mulai berdatangan. Koridor penuh. Murid-murid 72 yang sedari tadi sedang mencuci di depan kelas mulai datang ke depan kantor guru.
“Kalian telat! Bu guru telat! Payah!” makiku dalam hati.
Bu Suwarni mulai mengoleskan minyak zaitun ke jemari Eghi. Aku pun ikut melilitkan dasiku yang dipenuhi darah pada jemarinya.
            Semua kembali normal. Murid-murid kembali kelasnya.  Koridor mulai sepi. Hujan mulai berhenti. Dalam hati aku berbisik.
“Aku mencitaimu, Eghi…..”