Sebaskom Darah
Hari Sumpah Pemuda untukku dan Eghi bukan hanya
hari dimana para pemuda dan pemudi mengucapkan janji untuk tanah air pertiwi.
Tetapi, hari dimana dua mentari beranjak kepermukaan bumi untuk mengucapkan
janji sehidup semati. Ya…. Benih-benih cinta mulai tumbuh diantara kami sejak
hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa) di SMP N 179 Jakarta. Karna kebetulan
aku dan Eghi satu kelas, kami jadi dapat berkenalan lebih lanjut.
Awalnya kukira semua baik-baik saja, tidak ada yang aneh dengan kelas baruku.
Maklum saja anak SD baru pindah ke SMP jadi ada perasaan gimanaaaaa gitu…. Ada
rasa bangga, senang, deg-degan dan perasaan lainnya ketika aku tau aku diterima
di SMP N 179 Jakarta ini. Namun, semua berubah ketika salah seorang temanku
berteriak saat bel masuk kelas.
“Cieeee……Eghi sekarang lagi naksir sama cewek di kelas ini ya? Yang orang Bali
itu kan, Ghi?” teriaknya.
“Hah?? Emang disini ada orang Bali ya? Siapa?” sahut Nathalia yang duduknya dua
baris didepanku.
“Iya apa? Hmmm iya kali ya. Aku gak tau tuh, Nath.” jawab Mega teman sebangku
Nathalia.
Aku hanya terdiam. Sejujurnya aku gak sadar kalau yang sedang dibicarakan
mereka itu adalah aku. Sedangkan Eghi, dia hanya cengar-cengir macam kuda mau
dipecut. Aku gak ngerti deh sama jalan pikir cowok yang satu ini. Eghi itu
unik. Dia memiliki postur tubuh yang tinggi, wajah yang tampan, berwarna kulit
putih serta memakai kacamata. Sedangkan aku, seorang cewek yang juga memakai
kacamata, berpostur tubuh yang bisa dibilang tinggi untuk ukuran cewek berumur
12 tahun, dan ada yang unik juga nih dari aku. Rambut yang kumiliki itu
keriting yang gak biasa, keriting sosis kata teman-teman. Warna kulitku
kuning langsat dan kebetulan aku keturunan Bali, Malang dan Bandung. Bisa
dibayangin sendiri kan betapa eloknya parasku ini.
Rahma Prima Fidelia Wandita dan Muhammad Taufik Yuki Inzaghi. Kami resmi
memiliki hubungan yang lebih dari sekedar sahabat pada tanggal 28 Oktober 2010
pukul 17:47 di depan podium SMP N 179 Jakarta.
Sore itu langit tidak begitu bersahabat. Sang Dewi angin menghembuskan
selendangnya dengan begitu kencang, alhasil ia membuat bumi di sore hari itu
amat sangat dingin. Ditambah lagi dengan langit yang sudah berubah warna
menjadi lebih tua.
“Kayaknya mau turun hujan deh. Waaah harus cepat-cepat sampai rumah nih.”
ucapku dalam hati, ketika pak Wawan sudah memencet benda kesayanganku itu.
“DELIAAAAAAA!!! Tunggu aku dulu dong. Main ngacir aja nih!” teriak Desty salah
seorang dari teman sekelasku.
“Ada apaan sih, Des? Aku mau pulang nih udah mau hujan.” aku menyahut sambil
terus memandang langit di sore itu.
“Yeeee!! Aku juga tau kali, kalau udah mendung gini pasti mau turun hujan masa
iya mau turun salju. Tapi, tunggu sebentar ya. Ada yang mau ngomong penting
sama kamu tuh.” Desty menjelaskan dengan panjang lebar.
“Okay okay….emang siapa sih yang mau ngomong sama a….ku….” belum sempat aku
mengakhiri kata-kataku muncul lah sesosok cowok yang sudah kukenali. Dia lah
Eghi.
Jantungku mulai berbedebar lebih kencang dari biasanya. Keringat mulai
membasahi pelipisku. Firasatku sudah berkata ada hal penting yang ingin Eghi
bicarakan denganku. Tapi apa ya? Otakku tidak dapat bekerja seperti biasanya
dan tiba-tiba saja....
“Del. Aku mau ngomong sama kamu. Penting. Ikut aku ke podium yuk, sebentar aja
kok.” pinta cowok tampan ini kepadaku.
Aku hanya bisa menuruti kata-katanya dan ikut berjalan dibelakangnya. Semua
mata tertuju pada kami. Karna baru saja bel pulang jadi masih cukup ramai.
Beberapa dari teman kami malah ikut bergabung dengan aku dan Eghi.
“Haduuuuh ini ada apa ya? Emang aku salah apa sama Eghi? Kayaknya aku gak
pernah cari masalah deh sama dia.” sudah banyak pertanyaan yang aku lontarkan
pada diriku sendiri ketika sampai di depan podium.
“Delia, sebenernya……aku…..” Eghi mulai berbicara.
“Iya, Ghi? Kamu kenapa?” sahutku dengan cepat.
“Aku…….” tanpa kusangku ternyata sudah ada semacam lingkaran manusia yang
mengelilingiku dan Eghi.
“Eghi? Kamu gak apa-apa kan?” tanyaku yang mulai curiga, takut kalau Eghi
sampai sakit.
“Hmm…..aku gapapa kok, Del. Aku cuma mau bilang…..”
“Bilang apa, Ghi?” aku menjawab secepat kilat. Mulai ada rasa penasaran yang
menghujam jantungku.
“Ayoook, Ghi!!! Buruan! Lama banget sih.” teriak salah seorang dari kerumunan
itu.
“Bilang kalau sebenernya aku it……u……….sa......yang sama kamu, Del. Kamu mau gak
jadi pacar aku?” Eghi berbicara dengan cepatnya sambil memegang tanganku.
Seketika lingkaran manusia yang tadi mengelilingi kami bersorak dan langit
mendung itu berubah jadi cerah. Secerah wajah perempuan yang sedang Eghi ajak
bicara ini. Aku tidak tau harus menjawab apa. Sejujurnya aku kurang paham sama
begini-beginian. Waktu di SD aku gak pernah kenal yang namanya cinta apalagi
pacar. Tapi entah kenapa ada sesuantu yang mendorongku untuk berkata “ya” saat
ini.
“Eghi……..aku…..iya aku mau.” jawabku tak kalah cepat dengan Eghi.
“HAH? Serius, Del???? Makasih ya, Deliaaaa!!! MAKASIH, DEL! M-A-K-A-S-I-H!”
Eghi berteriak dihadapanku dengan wajah yang berubah warna menjadi merah padam.
“CIEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE SELAMAT YAAA!! EGHI SAMA DELIA SEKARANGGG PACARAN!!”
dengan kompaknya mereka semua berteriak. Membuat langit di sore hari itu
semakin indah untuk dikenang.
“Eghi kamu jahat banget sih! Gak ada kerjaan lain apa selain gangguin aku? Liat
nih patung babiku patah ekornya.” aku yang saat itu sedang kesal jadi
tambah emosi karna diganggu oleh Eghi.
“Yaaah maaf deh maaf. Aku kan gak tau kalau patung kamu patah. Sini aku
benerin…” Eghi merebut patungku dan hendak kembali ke tempat duduknya namun ia
berbalik.
“Aduuuuuuh!!! Sakit tau! Kamu nih apaan sih?!” omelku.
“Princess Aurora gak boleh marah dong, nanti kalau marah pangeran cubit lagi
nih pipinya.” Eghi yang habis mencubit pipiku langsung melarikan diri ke tampat
duduknya.
“Huffffttt…..” aku menghela napas panjang.
You were my eyes when I couldn’t see. You saw the best there was in me.
Lifted me up when I couldn’t reach. You gave me faith ‘coz you believed. I’m
everything I am. Because you loved me.
Suara Celine Dion yang khas dan syadu, membuat malam Rabu kali ini begitu indah
untuk seorang cewek yang sedang mendengarkan lagu Because You Love Me oleh
Celine Dion yang kebetulan sedang jatuh cinta.
“Besok itu pelajarannya apa aja ya?” tanyaku dalam hati sambil terus
mendengarkan dengan teliti setiap lirik yang dilantunkan oleh Celine.
“Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama Islam sama Tata Busana….oiya Tata
Busana bukannya aku sekelompok sama Eghi ya? Hihihi jadi makin bersemangat nih
buat besok sekolah. Semuanya sudah beres tinggal cuci kaki, gosok gigi, berdoa
abis itu bobok deeeh. Hoaaaammm………”
Kringgg…..kringggg….bel tanda masuk setelah
istirahat pun sudah diperdengarkan oleh pak Wawan. Seluruh murid SMP N 179
Jakarta segera masuk ke kelas. Beberapa masih ada yang diluar kelas karna habis
sholat ashar, sebagian ada yang sedang menghabiskan jajanannya didekat tong
sampah dan beberapa ketua kelas sudah mulai memanggil guru untuk kembali
mengajar di kelas.
“Ayok ayok ini donatnya dibeli yaa. Sekalian
ngabisin nih.” itu kalimat pertama yang bu Suwarni lontarkan ketika memasuki
kelas kesayanganku ini, 72.
“Beli bu beliiii!” teriak enam orang temanku sambil
menyerbu kotak yang berisi donat itu.
“Bu saya beli dua buuuu!!” aku tidak mau kalah
antusias agar kebagian donat yang super lezat ini. Namanya juga orang laper
jadi apa saja dilahap ya, hehe.
“Yaudah ayok cepat dihabiskan donatnya. Habis itu
kita mau praktek mencuci. Kalian sudah bawa alat dan bahan yang ibu suruh kan?
Sekarang ayok duduk dengan kelompoknya masing-masing” teriak bu Suwarni sambil
memegang kotak kosong yang tadinya berisi donat.
“Deliaaa! Disini!” Chandra dan Desty ternyata
melihatku yang sedang kebingungan mencari mereka. Aku pun langsung menghampiri
mereka. Ternyata Eghi sudah lebih dahulu sampai ketimbang aku.
Eghi dan aku duduk berhadap-hadapan, disebelah Eghi
ada Chandra sedangkan disebelahku ada Desty. Kami memilih tempat duduk di
bagian paling belakang, barisan kedua dari tembok. Kami pun langsung
mengeluarkan alat dan bahan yang sudah kami bagi-bagi tugasnya dari minggu
lalu. Aku membawa baskom dan Rinso, Eghi membawa jeruk nipis, Desty membawa
kapur barus, dan Chandra membawa cutter. Bu Suwarni mulai membagikan serbet
kepada setiap kelompok.
“Nah anak-anak sekarang ayok mulai kerjanya.
Pertama kalian coret-coret serbet menggunakan pulpen, kedua potong jeruk nipis
menjadi dua bagian setelah itu baru kita akan mulai mencuci di luar kelas.”
jelas bu Suwarni sang guru Tata Busana sekaligus penjaga koperasi SMP N 179
ini.
“Eh santai aja kali nyoretnya, pada semangat amat.”
celetuk Chandra.
“Yeeee biarin aja kali, Chan. Daripada kamu kayak
gak semangat gitu.” sahut Desty yang tenyata paling semangat menyoret-nyoret
serbetnya. Aku dan Eghi hanya saling pandang dan tertawa melihat kelakuan kedua
teman kami ini. Eghi sudah selesai memotong jeruk nipis ia pun ikut
menyoret-nyoret serbet dengan pulpennya.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Bu Suwarni
menyuruh kami keluar kelas untuk mencuci serbet yang tadi sudah dicoret-coret
dengan pulpen. Kelompokku memilih tempat mencuci persis di depan pintu kelas
72. Biar gak kejauhan kalau mau bolak balik masuk ke kelas alasannya.
Pertama jeruk nipis yang sudah dibagi dua dioleskan
ke atas noda pada serbet. Lalu kapur barus yang sudah dihancurkan dioleskan
juga ke atas noda tersebut. Terakhir Rinso ditaburkan ke atas noda dan mulai
lah kami mencuci. Adonan ini menyebabkan tangan menjadi panas, perih dan gatal.
Eghi yang ternyata tangannya terluka saat memotong
jeruk nipis di kelas tadi, tidak memberitahu kami soal itu. Saat Desty ingin
mengambil air untuk mencuci, Eghi meminta agar dia saja yang mengambilnya.
Akhirnya Eghi lah yang pergi untuk mengambil air.
Tidak ada kecurigaan sama sekali pada diriku. Kami
semua sedang asyik mencuci dan bercanda karna kebetulan turun hujan yang
menyebabkan lantai di koridor basah.
“Eghi kok lama banget sih ngambil airnya?” batinku
mulai hawatir.
“Eh aku kesana dulu ya, mau liat Eghi. Kok dia lama
banget ngambil airnya?” izinku kepada Desty dan Chandra.
“Oke deh, Del. Hati-hati yaaa….licin banget nih.”
sahut Desty sambil melanjutkan mencucinya.
Aku menghentikan langkahku disamping Syifa, teman
sekelasku. Kami mencuci tangan di depan kelas 89 sedangkan Eghi dan teman yang
lain berada di depan kantor guru.
“Del, aku nyusul Rara dulu ya kesana.” Syifa pamit
kepadaku untuk pergi menyusul teman sekelompoknya yang sedang mengambil air di
depan kantor guru.
Entah angin darimana, entah ikatan batin apa, entah seberapa besar rasa sayang
dan khawatirku kepada pacar pertamaku itu. Aku mengikuti Syifa ke depan kantor
guru dan betapa terkejutnya aku saat melihat baskom mamah yang tadinya berisi
air berubah warna menjadi merah. Aku tambah terkejut saat melihat siapa yang
sedang termenung sambil mencelupi tangannya ke dalam baskom itu. Aku mengikuti
arah sumber darah dan…….
“EGHIIIIIIII!!!! Lho lho???? Kamu kenapa, Ghi?!”
teriakku histeris saat melihat sang pangeran sedang duduk termenung dan
mencelupkan jemarinya yang tak henti-henti mengeluarkan darah ke dalam baskom.
Aku melihatnya menangis…untuk pertama
kalinya….untuk pertama kalinya aku melihat pangeran menangis…
“Jangan nangis, Eghiiii!!!” aku mencoba
menenangkannya sambil mengusap air mata yang tak kalah deras dengan darah.
“EHHH TOLONGIN DONGGGG!!! JANGAN CUMA NGELIATIN!”
aku berteriak kepada beberapa teman yang hanya menonton dan mengusap peluh
dikening Eghi.
Otakku dipaksa untuk bekerja lebih keras daripada
biasanya. Aku bukan anak dokter. Aku tidak tau cara menangani kasus seperti
ini. Aku……aku cuma tau cara buat nyelamatin kamu, Ghi…
“DEL! Jangan! Gak boleh minum darah tau gak!”
Fadhel mulai menyadari keputusan yang kubuat.
“BIARIN! Nanti juga aku buang kok darahnya!”
mulutku penuh darah. Aku bisa merasakan betapa amisnya darah segar yang keluar
dari jari jemari seorang manusia. Baju, dasi, rok semua penuh darah.
“Eghi….darahnya udah berhenti kok. Jangan nangis
lagi yah….”
“Ma……ka……ka…s…sih ya, Del” isak Eghi dalam
tangisnya.
Guru-guru mulai berdatangan. Koridor penuh.
Murid-murid 72 yang sedari tadi sedang mencuci di depan kelas mulai datang ke
depan kantor guru.
“Kalian telat! Bu guru telat! Payah!” makiku dalam
hati.
Bu Suwarni mulai mengoleskan minyak zaitun ke
jemari Eghi. Aku pun ikut melilitkan dasiku yang dipenuhi darah pada jemarinya.
Semua kembali normal. Murid-murid kembali kelasnya. Koridor mulai sepi.
Hujan mulai berhenti. Dalam hati aku berbisik.
“Aku mencitaimu, Eghi…..”